Kebudayaan di Bali
BAB I
Pendahuluan
A.
LATAR
BELAKANG
Berbicara
soal kebudayaan tentunya akan sangat banyak yang harus di bicarakan. Terutama
kebudayaan Indonesia. Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan, suku, ras
yang sangat beragam. Setiap suku dari daerah masing-masing pastinya mempunyai
kebudayaan-kebudayaan tersendiri. Setiap daerah memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda.
Budaya
Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun
kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka
pada tahun 1945. Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini
merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin
lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi
nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Sedangkan menurut TAP MPR No. II tahun 1998 yakni :
“Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk
mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk
memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang
kehidupan bangsa.”
Kebudayaan
yang sering kali di dengar tentunya kebudayaan yang berasal dari Bali. Pulau
yang sering kali di sebut Pulau Dewata ini memang memiliki banyak sekali
kebudayaan. Dari mulai tempat-tempat wisata, tarian, tradisi,
kesenian-kesenian, dan makanan khasnya. Tak jarang para wisatawan pun sangat
tertarik untuk mengunjungi Pulau Bali ini. Tak sedikit warga asing yang
menyangka bahwa Bali itu adalah negara sendiri, dan tak jarang warga asing yang
mengetahui bahwa Bali merupakan bagian dari Indonesia. Jadi mungkin ini yang
perlu di luruskan, bahwa Bali merupakan salah satu dari 34 provinsi yang
terletak di Indonesia. Ibu Kota dari Pulau Bali ini adalah Denpasar.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa itu pengertian dari kebudayaan,
terutama kebudayaan di daerah Bali?
2.
Apa saja macam-macam kebudayaan yang
terdapat di Bali ?
3.
Pengaruh apa saja dari banyaknya
kebudayaan di Bali ?
4.
Bagaimana presepsi warga asing
mengenai Bali ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Agar kita dapat memahami dan
mengetahui tentang arti dari kebudayaan terutama kebudayaan daerah Bali.
2.
Agar kita dapat mengetahui berbagai
macam kebudayaan yang terdapat di daerah Bali.
3.
Agar kita dapat memahami dan
mengetahui pengaruh apa saja yang bisa di timbulkan dengan adanya kebudayaan
Bali.
4.
Agar kita dapat mengetahui persepsi atau
mind set kebanyakan warga asing mengenai Pulau Bali.
BAB II
ISI
A.
PENGERTIAN
KEBUDAYAAN
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuksistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan
karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat
pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Setelah mengetahui banyak tentang arti dari budaya
dan kebudayaan itu sendiri, sekarang dalam makalah ini saya akan menjelaskan
lebih mendetail kebudayaan atau budaya bali itu sendiri. Bali berasal
dari kata “Bal” dalam bahasa
Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali”
berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita.
Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional
yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai
dan I Gusti Ketut Jelantik. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi
yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu aset devisa negara
Indonesia yang cukup tinggi di bidang pariwisatanya. Ibukota Provinsi Bali
adalah Denpasar. Provinsi Bali sendiri tidak hanya terdiri dari pulau (dewata)
Bali saja, namun juga terdiri dari banyak pulau yang lain, contohnya pulau Nusa
Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan lain – lain. Provinsi Bali secara
astronomis terletak di 8° LS dan 115° BT. Daerah ini masih memiliki iklim
tropis seperti Provinsi lainnya di Indonesia. Secara geografis provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur,
dan Selat Bali di sebelah barat, Laut Bali di sebelah utara, samudera hindia di
sebelah selatan, dan Selat Lombok di sebelah timur. Penduduk Bali terdiri dari
dua, yaitu penduduk asli Bali atau disebut juga Bali Aga (baca: Bali age) dan
penduduk bali keturunan Majapahit. Sedangkan kebudayaan Bali memiliki
kebudayaan yang khas karena secara belum terpengaruhi oleh budaya lain.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh
nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui
adanya perbedaaan ( rwa
bhineda ),
yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan
(patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali
bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh
kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi
antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat
khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa
maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni
pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan
Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi
tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif
khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan
jati diri (Mantra 1996). Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi
nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan
( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan
lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan).
Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga
aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan
harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali
terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang
( warthamana ) merupakan suatu rangkaian
waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada
saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini
juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan
tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan
hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga
buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
B.
MACAM-MACAM KEBUDAYAAN DI BALI
Di bali memiliki atau kaya sekali akan berbagai
macam kebudayaan, mulai dari suku, agama, adat istiadat yang masih di pegang
teguh, serta berbagai macam kesenian lainnya (seni pahat, patung, tarian dll).
Dari berbagai macam yang di sebutkan akan di jelaskan secara satu persatu :
1.
Suku Bali
Suku
Bali (bahasa Bali: Anak Bali, Wong Bali,
atau Krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas
di pulau Bali,
yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali.
Sebagian besar suku Bali beragama Hindu,
kurang lebih 90%, sedangkan sisanya beragama Islam, Kristen, Katolik,
dan Buddha.
Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di
Indonesia. Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali.
Orang Bali juga banyak terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung dan
daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya. Sebagian kecil orang Bali
juga ada yang tinggal di Malaysia.
Asal-usul suku Bali terbagi ke
dalam tiga periode atau gelombang migrasi: gelombang pertama terjadi sebagai akibat dari
persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama zaman prasejarah; gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara; gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal
dari Jawa,
ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15—seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk
melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.
Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai
anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan
mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan
tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik
dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama
kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu
bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat
dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh mahapatih Majapahit,
Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut
Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem
Ketut Ngulesir".
Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah
tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi,
hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad 20, masyarakat Bali
pun masih menggunakannya. Tata cara penamaan ini antara lain :
·
Untuk
membedakan jenis kelamin, masyarakat Bali menggunakan awalan “I” untuk anak laki-laki
dan awalan “Ni” untuk anak perempuan
·
Untuk anak
pertama, biasanya diberi awalan “Wayan”, yang diambil dari kata
"wayahan" yang artinya "tertua / lebih tua / yang paling
matang". Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga sering digunakan
adalah "Putu" dan "Gede". Kata “Putu” artinya
"cucu", sedangkan “Gede” artinya "besar / lebih besar". Dua
awalan nama ini biasanya digunakan oleh masyarakat Bali bagian utara dan barat,
sedangkan di Bali bagian timur dan selatan cenderung memakai nama Wayan. Untuk
anak perempuan kadang juga diberi tambahan kata “Luh”.
·
Untuk anak
kedua, biasanya diberi awalan "Made", diambil dari kata "madya
(tengah)". Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga dapat diberi nama
depan "Nengah" yang juga diambil dari kata "tengah". Ada
juga yang menggunakan awalan “Kadek” yang merupakan serapan dari kata “adi”
yang bermakna "utama atau adik".
·
Untuk anak
ketiga, biasanya diberi nama depan "Nyoman" atau "Komang".
Nyoman konon diambil dari kata "nyeman (lebih tawar)" yang asalnya dari
lapisan terakhir pohon pisang, sebelum kulit terluar, yang rasanya cukup tawar.
Nyoman. Komang, secara etimologis berasal dari kata "uman" yang
bermakna “sisa / akhir”.
·
Untuk anak
keempat, biasanya diawali dengan “Ketut”, yang merupakan serapan dari kata “ke
+ tuut” yang bermakna "mengikuti / mengekor". Ada juga yang
mengkaitkan dengan kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil
di ujung terluar dari sesisir pisang. Karena program KB yang dianjurkan
pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang berawalan Ketut.
·
Untuk
keturunan dari kasta Brahmana, biasanya digunakan awalan "Ida Bagus"
untuk laki-laki dan "Ida Ayu" untuk perempuan. Kasta Brahmana adalah
kasta dari profesi pemuka agama, misalnya pendeta.
·
Untuk
keturunan dari kasta Ksatria, biasanya digunakan awalan "Anak Agung",
"I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa",
"Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti
Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah". Kasta Ksatria merupakan
kasta dengan profesi pelaksana pemerintahan (PNS) dan pembela negara
(TNI/POLRI).
·
Untuk
keluarga yang memiliki lebih dari empat anak, dapat digunakan kembali nama-nama
depan sebelumnya sesuai urutannya untuk anak kelima dan seterusnya. Ada juga
yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya
untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat.
2.
Agama (Keyakinan)
Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik.
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta
segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat
manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena itu tuntunan
sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian
dan keharmonisannya yang dalam pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri
Hita Karana sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman. Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman. Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan berbagai bentuk upcara persembahan
dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya
atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang
tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana
dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan manusia. Didukung dengan berbagai
filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran
Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam lima bagian yang disebut
Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
a.
DewaYadnya
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
b.
PitraYadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
c.
RsiYadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
d.
ManusiaYadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
e.
BhutaYadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).
Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat
besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana
terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam
inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik
secara insidentil maupun secara berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai
dari upacara masegeh berupa upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara
caru dan tawur agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu
minggu), sasih (satu bulan), sampai pada hitungan ratusan tahun.
3. Adat Istiadat (Tradisi) di Bali
a. Jatakarma
Samskara (Upacara Kelahiran).
Berbagai persiapan harus dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi,
bahkan persiapan dimulai dari jauh waktu sejak bayi masih dalam kandungan ibu.
Serangkaian larangan bagi ibu yang sedang hamil misalnya: tidak boleh memakan
makanan berasal dari hewan; tidak diperbolehkan memakan daging kerbau atau
babi; jangan melihat darah atau orang yang terluka; tidak boleh melihat orang
yang meninggal; dianjurkan untuk diam di rumah dengan upacara penyucian agar
kelahiran bayi nantinya berjalan normal.
Bapak
dari sang bayi harus dapat menghadiri kelahiran sang bayi dan menemani sang
istri. Ketika sang bayi lahir, dulu, saat bayi lahir, sang bapak lah yang harus
memotong ari-arinya dengan menggunakan pisau bambu. Ari-ari itu lalu disimpan
dan nanti harus dilingkarkan di leher sang bayi. Pada hari ke-21 setelah kelahiran,
sang bayi akan dipakaikan pakaian, seperti; gelang dari perak atau emas sesuai
dengan kemampuan dan adat yang ada.
b. Mepandes (Upacara Potong Gigi).
Upacara pada masa transisi dari anak-anak menuju masa selanjutnya yang
dijalankan oleh masyarakat Bali adalah upacara potong gigi atau mepandes, yaitu
mengikir dan meratakan gigi bagian atas yang berbentuk taring. Tujuannya adalah
untuk mengurangi sifat jahat atau buruk (sad ripu). Mepandes
dilaksanakan oleh seorang sangging sebagai
pelaksana langsung dengan ditemani seorang Pandita (Pinandita).
c. Pawiwahan (Upacara Perkawinan). Upacara transisi lainnya adalah pernikahan atau Pawiwahan. Pawiwahanbagi orang Bali adalah persaksian di hadapan Sang Hyang Widi dan juga kepada masyarakat bahwa kedua orang yang yang akan menikah (mempelai) telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Dalam pelaksanaan pernikahan ini, akan terlebih dahulu dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya, ala-ayuning. Orang Bali punya cara sendiri dalam menghitung hari dan tanggal baik sesuai dengan pertanggalan mereka, umumnya hari dan waktu yang baik ini dihitung oleh seorang ahli yang sangat mengerti perhitungan waktu dalam sistem penanggalan Bali. Hampir semua masyarakat masih mengenal sistem penanggalan Bali karena mereka dalam kesehariannya masih menggunakan kalender Bali.
Tempat
melaksanakan pernikahan dapat dilakukan di rumah mempelai perempuan atau
laik-laki sesuai dengan hukum adat setempat–desa, kala, patra)–yang Pelaksanaannya
dipimpin oleh seorang Pendeta (Pinandita), Wasi dan
atau Pemangku.
d.
Ngaben (Upacara Kematian).
Ngaben adalah upacara kematian pada masayarakat Bali yang dilakukan dengan cara
kremasi. Ngaben merupakan rangkaian akhir dari roda kehidupan manusia di Bumi.
Menurut ajaran Hindu, roh itu bersifat immortal (abadi),
setelah bersemayam dalam jasad manusia, ketika manusia tersebut dinyatakan
meninggal, roh akan be-reinkarnasi. Tapi sebelumnya, roh terlebih dahulu akan
melewati sebuah fase di nirwana untuk disucikan; sesuai dengan catatan
kehidupan selama di bumi (karma). Ngaben merupakan proses
penyucian roh dari dosa-dosa yang telah lalu.
Oleh
karena itu, orang Bali tidak menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya,
kematian merupakan bagian dari fase kehidupan yang baru. Seperti yang tercantum
dalam Bhagavadgita, “akhir dari keidupan adalah kematian dan awal dari kematian
adalah kehidupan”.
4.
Kesenian
lainnya
Musik, Tarian, dan
juga Patung adalah tiga bidang kesenian yang menjadi pusat konsentrasi
eksplorasi kreativitas seni masyarakatnya. Bali merupakan tempat lahirnya salah
satu ragam gamelan yang mengagumkan. Dalam budaya Bali, gamelan sangat penting
untuk kegiatan budaya-sosial, dan keagamaan mereka. Saat ini sedikitnya ada 20
jeneis ansambel berbeda di Pulau Bali. Sebagian besar berkait erat dengan seni
pertunjukan; yang lain untuk mengiringi upacara keagamaan dan adat.
Suara gamelan Bali
berdengung di seantero Pulau Bali; di pura, di kota, desa, alun-alun, di pasar,
istana hingga panggung-panggung pentas dunia. Gamelan ditemani oleh instrumen
musik lainnya seperti: gong, c saron, eng-ceng, gambang, dll. Komposisi
instrumen gamelan dapat berubah sesuai dengan wilayah dan jenis
pertunjukan-pertunjukkan yang digelar.
Selain seni musik,
tarian-tarian khas Bali merupakan seni pertunjukkan yang menarik perhatian.
Tari Bali tidak selalu memiliki alur. Tujuan utama penari adalah melakukan
setiap tahap gerak dengan ungkapan penuh. Keindahannya terutama terletak pada
dampak visual dan kinestesis gerak yang mujarad dan digayakan. Beberapa contoh
terbaik dari tarian mujarad atau abstrak ini adalah Tari Pendet, Tari Gabor,
Tari Baris, Tari Sanghyang, dan Tari legong.
Di Bali terdapat berbagai jenis tarian
dengan fungsi yang berbeda-beda misalnya untuk upacara-upacara keagamaan,
menyambut tamu, pertunjukkan drama atau musikal, dan masih banyak lagi. Tari Pendet,
Gabor, Baris, dan Sanghyang berperan penting dalam kegiatan keagamaan dan
digolongkan jenis tarian suci (wali)
atau tarian upacara, sedangkan Legong ditarikan dalam acara yang tidak
memiliki kaitannya dengan keagamaan. Tari-tari ini diiringi gamelan
pelog–gamelan gong kebyar– dengan berbagai gubahan dan sususan anda.
Tari Pendet dan Tari
Gabor merupakan tarian selamat datang, ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan
rasa syukur melalui gerak indah dan lembut. Tarian ini dilakukan oleh sepasang
atau sekelompok penari. Paa masa lalu, kedua tari ini meupakan tarian yang
digelar di pura untuk menyambut dan memuja dewa-dewi yang berdiam di pura
selama upacara odalan. Tari
Legong kerap dianggap sebagai lambang keindahan Bali. Ciri khas tarian ini
adalah penarinya membawa kipas. Keindahan tarian Legongi terletak pada hubungan
selaras antara penari dan gamelan. Selain tari Tari Pendet, Tari Gabor, Tari
Baris, Tari Sanghyang, dan Tari legong, tarian lainnya yang tak kalah terkenal
adalah tari Kecak, juga tari Jauk.
C.
PENGARUH
KEBUDAYAAN DI BALI
Pengaruh
dari kebudayaan Bali itu sendiri tentu saja hal-hal yang positif. Dengan kayaknya
kebudayaan yang ada di Bali ini memikat banyak warga asing yang ingin
mengunjungi Pulau Dewata ini. Warga asing banyak yang tertarik dengan Bali
karna selain kaya akan kebudayaan, tempat-tempatnya juga sangatlah indah dan
eksotik. Bahkan bukan hanya warga asing biasa, Tak jarang artis-artis kalangan
Hollywood pun tak kelak sering berkunjung ke Bali hanya untuk menikmati
keindahan alamnya.
Berikut
adalah beberapa tempat favorit yang sering kali di kunjungi oleh wisatawan Mancanegara :
ØDanau Bedugul
ØTanah Lot
ØTanjung Benoa
ØPantai Kuta
ØUluwatu
ØUbud
ØSeminyak
Tempat-tempat
tersebut tentu hanya beberapa dari keindahan yang berada di Bali. Banyak
wisatawan yang mengunjungi Bali mungkin karna salah satunya Bali memiliki
tempat yang sangat bagus untuk surfing (olahraga pantai). Jadi para wisatawan
tak kelak senang untuk mengunjungi Bali.
Pengaruhnya
tentu saja sangat baik bagi Negara, karena semakin banyak warga asing yang
berkunjung ke Indonesia, tentulah meningkatkan devisa Negara. Selain itu juga
masyarakat Bali perekonomiannya bisa lebih baik, karena banyak yang membeli
cenderamata dari para penduduk disana. Tentu saja yang harganya di bedakan,
jadi bisa mendapatkan untung lebih banyak. Jadi pengaruhnya sangatlah baik, dan
juga warga asing banyak yang tertarik dengan keindahan estetika dari
kesenian-kesenian Bali. Jadi pastilah akan membeli beberapa kesenian seperti
patung, lukisan dan yang lainnya. Kebanyakan dari mereka juga tidak
mementingkan harga, selama mereka suka barang itu berapapun harganya akan di
bayar.
D.
PERSEPSI
WARGA ASING MENGENAI BALI
Saya
kebetulan lumayan sering untuk berbicara atau mengobrol dengan warga asing dari
manca negara, melalui sebuah situs chatting. Kebanyakan dari mereka mengetahui
lebih ke Bali di bandingkan Indonesia. Selain itu juga banyak yang bilang bahwa
Bali itu merupakan Negara tersendiri yang melainkan terpisah dari Indonesia.
Ini yang harus di luruskan, bahwa Bali merupakan salah satu dari provinsi yang
berada di Indonesia. Lalu warga asing tersebut pun saya jelaskan bahwa Bali
adalah bagian dari Indonesia. Mungkin mereka bisa berkata demikian karena Bali
cukup terkenal di mancanegara jadi mereka berpikiran seperti itu.
Banyak
dari mereka juga berpendapat bahwa Bali itu adalah tempat yang sangat indah,
tak jarang yang menyebutnya Paradise (Surga).
Mungkin kata itu di dapatkan karena memang Bali memiliki keindahan yang
luar biasa, salah satu keindahan yang Allah ciptakan di dunia ini. Tak jarang
warga asing yang jatuh cinta dengan tempat ini sehingga memutuskan untuk
tinggal di Bali dan menjadi warga negara di sini (naturalisasi). Banyak warga
asing yang tinggal di Bali menikah dengan warga Indonesia dan memiliki anak
disini. Jadi itu beberapa persepsi yang saya peroleh langsung dari pengalaman
saya dan pengamatan saya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Jadi
kesimpulan yang di dapatkan dari Kebudayaan Bali adalah Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh
nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui
adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang
sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala )
dan kondisi riil di lapangan (patra ). Selain
nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal
adanya konsep tri semaya yakni
persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ),
masa kini ( anaghata ) dan masa
yang akan datang ( warthamana ) merupakan
suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan
manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan
perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam
ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang
sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil
yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk
atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Di bali memiliki atau kaya sekali akan berbagai
macam kebudayaan, mulai dari suku, agama, adat istiadat yang masih di pegang
teguh, serta berbagai macam kesenian lainnya (seni pahat, patung, tarian dll).
Sukunya sendiri memiliki beberapa tingkatan, dari Brahmana, Ksatria, Waisya, dan
Sudra. Nama dari anak-anak penduduk disana tergantung dari mana tingkatan
mereka. Penduduk sana masih memegang teguh adat istiadat dari nenek moyang
mereka. Sebagian besar penduduk disana memiliki keyakinan atau beragama Hindu.
Tradisi yang dijalankan pun masih di pegang teguh, contohnya : Mepandes
(Upacara Potong Gigi), Pamiwahan (Upacara Perkawinan),
Jatakarma Samskara (Upacara Kelahiran) dan Ngaben (Upacara Kematian ).
Pengaruh
kebudayaan Bali tentu saja sangat baik bagi Negara, karena semakin banyak warga
asing yang berkunjung ke Indonesia, tentulah meningkatkan devisa Negara. Selain
itu juga masyarakat Bali perekonomiannya bisa lebih baik, karena banyak yang
membeli cenderamata dari para penduduk disana. Kebanyakan dari mereka
mengetahui lebih ke Bali di bandingkan Indonesia. Selain itu juga banyak yang
bilang bahwa Bali itu merupakan Negara tersendiri yang melainkan terpisah dari
Indonesia. Mungkin mereka bisa berkata demikian karena Bali cukup terkenal di
mancanegara jadi mereka berpikiran seperti itu.
B.
SARAN
Untuk
kebudayaan Bali itu sendiri mungkin harus di berikan wadah untuk
kesenian-kesenian Bali disana, supaya mungkin bisa lebih di kenal di dunia
Internasional. Mungkin pemerintah harus lebih mengenalkan bahwa Bali itu
merupakan bagian dari Indonesia, karena masih banyak warga asing yang
menganggap bahwa Bali itu merupakan negara yang berdiri sendiri. Lalu mungkin
pemerintah harus lebih perhatikan warga asing yang tinggal di sana, soalnya
mungkin masih banyak warga asing yang illegal yang tinggal di sana, lalu
mungkin lebih di perketat mengenai pemeriksaan WNA di bandara
DAFTAR PUSTAKA
o
http://www.ragamtempatwisata.com/2013/03/tempat-wisata-di-pulau-bali-yang-indah-populer-menarik.html
o
GOOGLE IMAGES
Komentar
Posting Komentar