Tugas 4 (Aspek Hukum dalam Pembangunan) Kelompok 3


TUGAS
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN



KELOMPOK 3
1.     Andry Octaviantoro                                (10315753)
2.     Annisa Dievy Nafilah                             (10315862)
3.     Dwi Novitasari                                        (13315965)
4.     I Gusti Agung Ayu Made Dessy N         (13315189)
5.     Jesica Suyanto                                         (13315556)
6.     Prima Triasmara Khatami                       (15315394)
7.     Rezha Fauzi                                             (17315511)
8.     Rory Shorina Tiurma Lase                      (16315268)
Kelas : 4TA01
Dosen : Efa Wahyuni, SE


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2019



ASPEK PERSEROAN,PERBANKAN,PERASURANSIAN, DAN PERPAJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI

Aspek-aspek Keuangan/perbankan yang penting dalam kontrak kontruksi antara lain :
Perseroan terbatas atau biasa dikenal dengan istilah PT adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri dari saham-saham yang pemiliknya memilki bagian sebanyak saham yang dimilkinya, karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dapat diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan dapat dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan. Perseroan terbatas pada zaman dahulu dikenal dengan sebutan Naamloze Vennootschaap (NV) atau Corporate Limited, serikat dagang benhard (SDN BHD).
            Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu bentuk usaha yang diakui di Indonesia. Keberadaannya menjadi penting dalam perkembangan perekonomian di Indonesia, sehingga pemerintah pun mengeluarkan undang-undang yang khusus mengenai PT.
            Organ PT berarti organisasi yang menyelenggarakan perusahaan (PT) yang pada dasarnya terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Masing-masing organ memiliki fungsi dan perannya sendiri-sendiri. Secara sederhana, struktur organ PT dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan undang-undang ini dan atau anggaran dasar.
2.      Direksi perseroan
Direksi adalah organ perseroan yang wewenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar persidangan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
3.   Dewan Komisaris Perseroan
Adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/ atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi.         

Perbankan.
Berdasarkan ketiga pengertian di atas  dapat disimpulkan bahwa bank adalah usaha yang berbentuk lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana (surplus of fund) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang kekurangan dana (lack of fund), serta memberikan jasa-jasa bank lainnya untuk motif  profit juga sosial demi meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Apasih fungsi dari perbankan?
Menurut Budisantoso (2006:9) secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of services.
a. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal menghimpun dana maupun penyaluran dana. Masyarakat mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut , dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitur akan mengelola dana pinjaman saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.
b. Agent of Development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan di sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
c. Agent of Service
Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian secara luas. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.

Asuransi Contractor All Risk (C.A.R) adalah asuransi yang menjamin kerugian financial akibat kerusakan fisik dari pekerjaan sipil yang sedang dipasang atau dipekerjakan. Sesuatu yang dapat dipertanggungkan dalam Asuransi (CAR), yaitu semua jenis pekerjaan sipil engginering, misalnya:
1.        Pekerjaan Pembangunan Ruko, Kantor, Sekolah, Kampus, dll
2.        Pekerjaan Pabrik, Kawasan Industri, dll
3.        Pembangunan Gedung Bertingkatseperti Hotel, Apartemen, Plaza, dll
4.        Pembangunan Terowongan, Jalan, dan pekerjaan SIPIL lainnya

Dalam risk management, pengelolaan suatu risiko dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu risk avoidance/penghindaran risiko, risk reduction /penurunan risiko, risk retention/menahan risiko, risk sharing/membagi risiko; dan risk transfer/mengalihkan risiko. Bentuk pengalihan risiko dalam pekerjaan konstruksi adalah melalui sisten asuransi. Asuransi merupakan perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
1.           Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
2.           Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (Undang – undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian)
Secara gamblang, UU Jasa Kontruksi menyatakan bahwa penyedia jasa konstruksi, baik perencana kostruksi, pelaksana konstruksi maupun pengawas konstruksi, bertanggung jawab atas hasil pekerjaan di mana pertanggungjawaban tersebut dapat menggunakan mekanisme pertanggungan. Construction all risk insurance, professional liability insurance dan professional indemnity insurance merupakan jenis asuransi yang dijelaskan dalam UU Jasa Konstruksi. Dalam praktik, terdapat beberapa jenis asuransi lain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik pekerjaan konstruksi seperti namun tidak terbatas pada Cargo Insurance, Installation All Risk Insurance.
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Adapun subjek pajak jasa konstruksi itu sendiri antara lain orang pribadi, badan, atau bentuk usaha tetap (BUT) yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi maupun sub-nya. Penghasilan terkait usaha jasa konstruksi ini tentunya dikenakan Pajak. Pajak yang dikenakan adalah Penghasilan yang bersifat Final yaitu PPh pasal 4 ayat 2 UU PPh.

Adapun saat terutangnya pajak penghasilan ini adalah pada saat pembayaran atas jasa konstruksi tersebut. Lalu, berapa tarif pajak yang dikenakan atas penghasilan jasa konstruksi ini? Untuk Jasa pelaksana konstruksi,tarifnya adalah sebagai berikut:
·         2% dari DPP untuk penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil.
·         4% dari DPP untuk Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
·         3 % dari DPP untuk Jasa selain dua kategori diatas, antara lain penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar.
Sedangkan tarif untuk Jasa Perencanaan maupun pengawasan jasa kontruksi adalah sebagai berikut:
·         4% dari DPP untuk Jasa yang memiliki kualifikasi usaha
·         6% dari DPP untuk Jasa yang tidak memilki kualifikasi usaha

Adapun Dasar Pengenaan Pajak (DPP) tersebut adalah sebesar Jumlah Pembayaran (tidak termasuk PPN) jika dipotong oleh pemotong pajak atau sebesar Jumlah Penerimaan Pembayaran (tidak termasuk PPN) apabila disetor sendiri oleh penyedia jasa.

Kapan pembayaran atau penyetoran pajaknya? Pembayaran atau penyetoran Pajak Terutangnya adalah sebagai berikut:
Jika pengguna jasa adalah Pemotong Pajak, maka : (1) Dipotong PPh Final pada saat pembayaran; (2) Pemotong Pajak Penghasilan memberikan bukti pemotongan kepada penyedia Jasa setiap melakukan pemotongan dan (3) Disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah pemotongan.

Jika pengguna jasa bukan Pemotong Pajak, maka Disetor sendiri oleh penyedia jasa paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah penerimaan pembayaran.

Untuk kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 atas Jasa Konstruksi baik pengguna jasa ataupun penyedia jasa batas waktunya adalah paling lama 20 hari setelah bulan dilakukan pemotongan pajak atau penerimaan pembayaran.

Perlu diketahui, dijelaskan pada Pasal 6 PP no.51 Tahun 2008 yang diubah terakhir dalam PP 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, dalam hal terdapat selisih kekuarangan PPh terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan PPh berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetorkan sendiri maka selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. Dalam hal Nilai kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang PPh, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih, namun apabila piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut nantinya dapat ditagih kembali, tetap dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.



ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN

1.   Pengertian Agraria
Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang tanah (bahasa Inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti yang ada hubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan. Dengan demikian reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, buruh tani (Rolaswati, tanpa tahun).
Sementara pengertian reforma agraria yang lebih lengkap (Tuma, 1965) adalah suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya (Bachriadi, 2007).
Landreform atau Reforma Agraria, istilah landreform pertama kali dicetuskan oleh Lenin dan banyak digunakan di negara komunis atau blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller” untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis (Sumaya, 2003).
Tentu saja pemahaman ini berbeda dengan yang dipergunakan di Indonesia. Pengertian landreform dalam UUPA dan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan pengertian dalam arti luas sesuai pengertian FAO (Food and Agriculture Organization) yaitu meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan (Hermawan, 2003). Sementara dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dijelaskan bahwa landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.
Siregar (2008) menjelaskan landreform sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan yang dilakukan melalui penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrarian baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” (Utami, 2013).
Pelaksanaan memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan tanah tidak landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah (Utami, 2013). Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak kejadian, petani yang telah membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.
Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma agraria, yaitu landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses.
Tuma (1965) menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadireforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus (Bachriadi, 2007).
Alasan mendasar reforma agraria dibutuhkan, terutama ketika corak dan sistem masyarakat masih agraris (Carebesth dan Bahari, 2012), adalah keadilan dan penghapusan segala bentuk penghisapan. Pembangunan bagaimanapun juga harus dilandasi rasa keadilan dan pemerataan. Reforma agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform merupakan upaya untuk menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai lapisan masyarakat di pedesaan.
Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi. Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat marjinal  semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah.
Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012).
Menjadi suatu keniscayaan kemudian untuk melaksanakan reforma agraria sebagai upaya mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah sebagai sumber utama permasalahan, yang pada akhirnya bermuara pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seutuhnya.

2.   Konsep dan Implementasi
Berdasarkan amanat UUPA Nomor 5 Tahun 1960, terdapat 6 (enam) elemen pokok program Landreform, yaitu:
a.       Pembatasan pemilikan maksimum
b.       Larangan pemilikan tanah absentee
c.       Redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya
d.       Pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan
e.       Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian
f.        Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007).
Dalam perjalanannya, program landreform ini berkembang dan akhirnya menjelma menjadi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)yang seringkali disebut juga sebagai landreform plus karena mempunyai 2 (dua) pilar yaitu reforma aset (landreform) dan reforma akses.Reforma aset merupakan upaya redistribusi tanah sebagaimana yang selama ini dikenal sebagai landreform, dan reforma akses sebagai kegiatan pelengkap/penunjang redistribusi aset untuk memastikan terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan modal, pendampingan, dan penyediaan teknologi pertanian. Ciri khas dari PPAN yang membedakannya dengan program terdahulu adalah formula penguatan aset (pemberian hak) dan pembukaan akses (modal dan pasar). Kegiatan ini juga melibatkan lintas sektor.
Strategi dasar PPAN yang ditetapkan oleh BPN (2007) adalah (i) penataankonsentrasi aset dan tanah terlantar melalui penataan politik dan hukum pertanahan berdasar Pancasila, UUD 1945 dan UUPA; (ii) mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (obyek) untuk rakyat (subyek).
Untuk itu, pelaksanaan program ini mencakup 4 (empat) lingkup kegiatan, yaitu penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme distribusi aset, dan pengembangan reforma akses. Penetapan obyek mencakup penyediaan tanah bagi pelaksanaan reforma agraria dari sejumlah sumber yaitu:
a.       tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
b.       tanah yang terkena ketentuan konversi
c.       tanah yang diserahkan sukarela oleh pemiliknya
d.       tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
e.       tanah obyek landreform
f.        tanah bekas obyek landreform
g.       tanah timbul
h.       tanah bekas kawsan pertambangan
i.        tanah yang dihibahkan oleh pemerintah
j.        tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah
k.       tanah yang dibeli oleh pemerintah
l.        tanah pelepasan kawasan hutan produksi konversi
m.     tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan.
Penetapan subyek menggunakan 3 (tiga) variabel pokok dalam menentukan kriteria yaitu (i) umum (Warga Negara Indonesia, miskin, minimal 18 tahun atau sudah menikah); (ii) khusus (bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya, kemauan tinggi mendayagunakan tanah); (iii) prioritas (tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan keluarga, lama bertempat tinggal dan mata pencaharian).
Secara umum, urutan kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima PPAN adalah (i) pertama, petani yang bekerja dan menetap di lokasi obyek PPAN;
(ii) kedua, petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian; (iii) ketiga, petani yang memiliki luas tanah pertanian kurang dari 0,5 ha; (iv) keempat, petani pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya; (kelima, penduduk miskin berdasar data BPS atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan (Shohibuddin, 2009).
Secara umum, terdapat 3 (tiga) mekanisme reforma agraria berdasarkan pada kondisi/kedudukan subyek (penerima tanah redistribusi) dan obyek (tanah yang akan didistribusikan), yaitu (i) subyek dan obyek pada lokasi yang sama atau berdekatan, (ii) ketika subyek dan obyek berjauhan digunakan skema (a) subyek mendekati  obyek. Skemanya mirip transmigrasi yaitu memindahkan subyek ke lokasi tanah redistribusi; (b) obyek mendekati subyek. Dikenal sebagai skema swap atau pertukaran tanah yang didasarkan pada cara konsolidasi lahan atau bahkan bank tanah. Skema ini jauh lebih rumit.


3.       Struktur Agraria Dalam Pembangunan
Pembaharuan agraria merupakan suatu perubahan besar dalam struktur agraria yang membawa peningkatan akses petani pada lahan, serta penguasaan bagi mereka yang menggarap lahan. Reforma agraria merupakan suatu persoalan yang sangat dibutuhkan saat ini oleh masyarakat engan mengingat kebutuhan akan tanah sangat meningkat untuk pembangunan sedangkan tanah itu sendiri adalah tetap.
Reforma agraria merupakan salah satu alat atau cara yng efektif untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan, sebab akses terhadap tanah merupakan suatu yang sifatnya fundamental bagi pembangunan sosial ekonomi, pengurangan kemiskikan, dan bagi kelestarian lingkungan yang berkelanjutan, selain sebagai faktor produksi, tanah juga merupakan faktor kekayaan.


ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN

KONSEP DASAR PENATAAN RUANG
Konsep penataan ruang wilayah adalah pemanfaatan pembangunan yang harus mengacu pada beebrapa aspek seperti keamanan, produktifitas serta dapat bermanfaat secara luas bagi semua lapisan masyarakat.
Penyusuanan rencana tata ruang wilayah nasional harus mem-perhatikan hal-hal berikut:
1.                Wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional
2.                Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian
            implikasi penataan ruang nasional
3.                Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi

Aspek lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional adalah:
1.                Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
2.                Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 
3.                Rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
4.                Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 

Tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, yaitu:
1.                 Mewujudkan wilayah nasional yang aman, maksudnya situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dariberbagai ancaman.
2.                 Mewujudkan wilayah nasional yang nyaman, yakni suatu keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan (berperan mewujudkan atau mengaktualisasikan sesuatu dalam kehidupannya secara nyta) nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai.
3.                 Mewujudkan wilayah nasional yang produktif, maksudnya proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing.
4.                 Mewujudkan wilayah nasional yang berkelanjutan, maksudnya kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya SDA tak terbarukan.


PERATURAN DALAM PERANCANAAN KOTA
Menurut Prajudi Atmosudirjo membedakan pengertian-pengertian kewenangan dan wewenang. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik, misalnya wewenang menandatangani surat-surat izin seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri.
Adapun yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam penataan ruang terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terdapat dalam Pasal 10, yang berbunyi:
1.       Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a.   Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota.
b.    Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi
c.   Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan
d.   Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama  penataan ruang antar kabupaten/kota.
2.       Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.       Perencanaan tata ruang wilayah provinsi
b.        Pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
3.       Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a.       Penetapan kawasan strategis provinsi
b.       Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c.       pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d.       pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
4.       Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
5.       Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6.       Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a.   menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1)       rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
2)       arahan peraturan zonasi untuk system provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
3)       petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
b.   melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
7.   Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standard pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

HUBUNGAN ANTARA ASPEK PENATAAN RUANG DAN
PERIZINAN PEMBANGUNAN PROYEK
Ruang merupakan aset besar Negara Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor kelestarian lingkungan untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang berkaitan dengan amanat penataan ruang wilayah Negara RI yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Tata ruang adalah wujud susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan yang secara struktural hubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang dan pola pemanfaatan ruang dengan baik, diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri dan pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Jadi, Penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Berdasarkan UUBG pasal 26
Ayat (1)
menerangkan bahwa izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata banguna yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku. Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum atau sesudah adanya Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaatan ruang yang mempunyai bukti hukum sah berupa perizinan berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk memperkaya diri sendiri dan tidak merugikan pihak lain.
Atas dasar di atas maka setiap pengembang jika ingin membangun harus memiliki izin terlebih dahulu karena sudah jelas bahwa ruang adalah milik Negara dan pemanfaatannya harus memiliki izin. Pembangunan suatu gedung (rumah) dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan (Pasal 35 ayat [4] UUBG). Memiliki IMB merupakan kewajiban dari pemilik bangunan gedung (Pasal 40 ayat [2] huruf b UUBG).
Menurut Pasal 15 ayat [1] PP 36/2005, permohonan IMB kepada harus dilengkapi dengan, Tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah; Data pemilik bangunan gedung; Rencana teknis bangunan gedung; dan Hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Lalu apa yang bisa terjadi kalau pemilik tidak memiliki ijin?  Pemilik rumah dapat dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin mendirikan bangunan gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG). Tetapi bagaimana jadinya jika ternyata gedung tersebut terlambat terdeteksi dan terlanjur selesai di bangun. Maka peraturan yang mengatur itu adalah Pasal 48 ayat (3) UUBG
Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UUBG disebutkan bahwa:
“Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin mendirikan bangunan pada saat undang-undang ini diberlakukan, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan harus mendapatkan sertifikat laik fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”

KONSEP DASAR PENATAAN RUANG
Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (gambar 1), dengan produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hierarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Penataan ruang dapat digambarkan seperti berikut:
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 13 UU Penataan Ruang, bahwa yang dimaksud dengan perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang guna untuk menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi sehingga dihasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang (Pasal 14 UU Penataan Ruang).
Pengertian pemanfaatan ruang dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 UU yang sama adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program serta pembiayaannya.1 Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktifitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan rencana tata ruang yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang (Pasal 1 angka 15 UU Penataan Ruang) yang dilakukan melalui penetapan zonasi (peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsurunsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang),2 perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang untuk meminimalisir adanya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga terjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan rencana tata ruang.3 Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di wilayah Indonesia dengan berpedoman pada UU Penataan Ruang sebagaimana dikatakan dalam Pasal 3 bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional

 

  

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI


CARA-CARA PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAN KONSTRUKSI
Konstruksi merupakan aktivitas yang tidak sederhana, bersifat multidisiplin serta dipengaruhi oleh banyak kepentingan. Tak heran apabila sengketa konstruksi rentan terjadi. Di bawah rezim Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Serta tidak tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan yang dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain arbitrase, baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi, konsiliasi atau penilai ahli.
Sementara itu, dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU Jasa Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi atau dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi, para pihak bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata acara penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Adapun tahapan-tahapan penyelesaian sengketa sesuai UU No. 2/2017 adalah:
1.     Para pihak yang bersengketa terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mufakat;
2.     Apabila musyawarah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa disesuaikan berdasarkan kontrak kerja konstruksi;
3.     Apabila penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui tahapan sebagai berikut:
4.     Mediasi;
5.     Konsiliasi, dan;
6.     Arbitrase
7.     Jika penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para pihak yang bersengketa membuat tata cara penyelesaian yang dipilih
Mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi diantara para pihak lebih menekankan penyelesaian di luar jalur pengadilan. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, dimana setidaknya terdapat beberapa keunggulan, yaitu:
Pertama, kerahasian sengketa terjaga. Kerahasian merupakan suatu keunggulan yang dapat diperoleh ketika menggunakan jalur di luar pengadilan. Hal ini disebabkan oleh karena proses hingga putusan penyelesaian sengketa tidak dipublikasikan kepada publik.  Keunggulan ini tentu akan berimplikasi kepada hubungan antara para pihak yang bersengketa tetap baik, sehingga kelangsungan pekerjaan tetap dapat dilanjutkan.
Kedua, sengketa diputus oleh pihak penengah (mediator, konsiliator, arbiter) yang mengerti bidang konstruksi. Menurut Hellard (1987), sengketa konstruksi dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
1.               Sengketa berkaitan dengan waktu (keterlambatan progress);
2.               Sengketa berkaitan dengan finansial (klaim dan pembayaran);
3.               Sengketa berkaitan dengan standar pekerjaan (desain dan hasil pekerjaan);
4.               Konflik hubungan dengan orang-orang di dalam industri konstruksi.
Dalam hal ini, pihak yang bersengketa dapat bebas memilih pihak penengah yang akan memutus atau memberi anjuran terkait sengketa yang sedang terjadi. Artinya para pihak dapat memilih pihak penengah yang memiliki pengetahuan konstruksi. Hal ini tidak terlepas dari sifat sengketa konstruksi bersifat teknis, sehingga pihak yang menjadi penengah dapat memutus atau memberi anjuran secara tepat.
Ketiga, jangka waktu relatif singkat. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki keunggulan secara waktu dalam penyelesaian sengketa. Artinya, penyelesaian sengketa dapat diselesaikan secara cepat daripada penyelesaian melalui jalur pengadilan. Hal ini tentu akan berimplikasi terhadap kepastian yang akan diterima para pihak yang bersengketa, seperti: kepastian atas kelangsungan pekerjaan, pembayaran pekerjaan. Kondisi sesuai dengan kebutuhan dari para pihak dimana sengketa dapat terselesaikan dengan tidak mengancam keberlangsungan pekerjaan dan hubungan baik diantara para pihak.
Jasa konstruksi merupakan entitas bisnis yang melibatkan banyak pihak. Intinya, jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Kota-kota besar dimana gedung pencakar langit bertebaran pastilah butuh jasa konstruksi. Semakin kompleks suatu pelayanan jasa konstruksi, semakin besar kemungkinan klaim atau perbedaan pendapat yang melahirkan sengketa. Misalnya terjadi kegagalan bangunan. Pengusaha jasa konstruksi tidak berhasil merampungkan pembangunan gedung sesuai terminasi dan syarat-syarat yang disepakati. Pemesan gedung tentu saja bisa mempersoalkan kegagalan tersebut lewat jalur hukum.
Ada dua jalur yang lazim dipakai untuk menyelesaikannya: melalui pengadilan umum (gugat perdata) atau di luar pengadilan. Untuk jalur pertama, lewat pengadilan, jarang sekali terdengar ada sengketa konstruksi yang masuk ke meja hijau dan mendapat perhatian luas. Pernah diberitakan bahwa pemerintah Indonesia berniat menggugat perusahaan jasa konstruksi asal Malaysia, tetapi perkaranya lebih pada pengupahan. Tercatat pula gugatan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi terhadap Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah ke PTUN Semarang, tetapi persoalannya lebih pada tender pengadaan barang dan jasa. Atau sengketa Firma Biro Konstruksi "Tugas" dengan PT Dwipayana Semesta mengenai proyek konstruksi di Dumai yang bergulir di jalur kepailitan (lihat putusan MA No. 018 K/N/2004).

Sinyalemen minimnya sengketa konstruksi yang menggunakan UU Jasa Konstruksi sebagai acuan ke pengadilan diperkuat penjelasan Tumpal SP Sianipar. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo) itu menegaskan bahwa para pengusaha jasa konstruksi lebih memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pengusaha lebih mengedepankan musyawarah dengan pihak lain. Sebagai organisasi tempat bernaung pengusaha jasa konstruksi, Aspekindo acapkali bertindak sebagai penengah. Aspekindo sering menjadi mediator, ujarnya. Jasa konstruksi merupakan salah satu bidang yang mengenal alternative dispute resolution. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mengatur dalam satu bab mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi. Para pihak yang bersengketa boleh memilih salah satu: pengadilan atau di luar pengadilan. Pilihan itu tergantung pada kesepakatan sukarela kedua belah pihak, kata Tumpal.
Jika kedua pihak sepakat menyelesaikan di luar pengadilan, maka yang bisa ditangani adalah masalah yang timbul dari kegiatan pengikatan (kontrak), penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan kegagalan bangunan. Untuk menyelesaikan sengketa demikian, kedua belah pihak bisa menunjuk pihak ketiga, baik dari unsur Pemerintah maupun Aspekindo. Di Aspekindo sendiri, kata Tumpal, ada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang bisa berperan sebagai penengah. Penunjukan pihak ketiga sebagai penengah dapat diatur sebelum pelaksanaan konstruksi berlangsung, dalam arti pada taraf penandatanganan kontrak kerja konstruksi. Atau, ditunjuk setelah terjadi sengketa. Kalau penunjukan dilakukan setelah timbul sengketa, maka penunjukan pihak ketiga harus dituangkan ke dalam akte tertulis.  Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 sebenarnya merujuk mekanisme arbitrase dan model alternative dispute resolution lainnya. Pada bagian penjelasan pasal 37 ayat (2) dipertegas lagi bahwa arbitrase yang dipakai bisa berupa lembaga permanen, bisa pula yang sifatnya ad hoc. Bisa lembaga arbitrase lokal, atau internasional. Selain arbitrase, UU Jasa Konstruksi tersebut juga memungkinkan sengketa konstruksi diselesaikan lewat mediasi, konsiliasi, atau bantuan penilai ahli.  



DAFTAR PUSTAKA


Bappenas. “Prioritas Pembangunan Nasional”, https://www.bappenas. go.id/files/8213/5027/5942/bab-i-prioritas-pembangunan-nasional.pdf, diakses tanggal 25 Oktober 2018.

Dalmy Nasution, S.H. 2017.Tahapan Penyelesaian Sengketa Konstruksi Pasca Terbitnya Undang-Undang Jasa Kontruksi Nomor 2 Tahun 2017”, https://bplawyers.co.id/2017/08/29/inilah-tahapan-penyelesaian-sengketa-konstruksi-pasca-terbitnya-undang-undang-jasa-kontruksi-nomor-2-tahun-2017/, diakses tanggal 05 Januari 2019

Habibi, Dani. 2017. “Aspek Perpajakan Kegiatan Usaha Jasa Konstruksi”, http://www.jtanzilco.com/blog/detail/905/slug/aspek-perpajakan-kegiatan-usaha-jasa-konstruksi, diakses tanggal 05 Januari 2019

H. Nazarkhan Yasin. 2008. Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi , https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20216/cara-pengusaha-jasa-konstruksi-selesaikan-sengketa, diakses tanggal 05 Januari 2019

Pramono, Iksan Teguh. 2018. “Prioritas Pembangunan Nasional Dalam Bidang Infrastruktur Dan Kebijakan Pemerintah Dalam Infrastukturhttps://iksanteguhpramono.wordpress.com/2018/01/07/prioritas-pembang, diakses tanggal 05 Januari 2019

Yuniarti, Siti. 2016. “Asuransi Sebagai Alternatif Mitigasi Resiko Pekerjaan Konstruksi”,http://business-law.binus.ac.id/2016/02/23/asuransi-sebagai-alternatif-mitigasi-risiko-pekerjaan-konstruksi/, diakses tanggal 05 Januari 2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teknologi Penahan Gempa Pendulum Power untuk Gedung Bertingkat (Universitas Gunadarma Review)

ILMU UKUR TANAH dalam Teknik Sipil

TEKNIK SIPIL